Monday, July 27, 2015

Mencari Hilal - Review


Awalnya saya malas untuk menonton film ini. Maklum beberapa kali menonton film Indonesia, ujung-ujungnya misuh-misuh keluar dari bioskop. Sampai akhirnya Tedi, teman kantor, meyakinkan saya untuk menonton.

“Bu, ini yang main Oka Antara lho ! Kita sebagai fans Oka, harus mendukung dia dalam film apapun,” bujuk Tedi.

“Gini deh, aku bayarin nontonnya!” rayu Tedi lagi, melihat saya masih belum bergeming dari ruangan.

Dan meluncurlah kita ke Bioskop Metropole pada Jumat sore, 24 Juli kemarin. 

Saya tidak tahu ini film apa. Sutradaranya siapa, produsernya siapa ? Pokoknya ini filmnya Oka Antara. He he maklum saya memang menyukai aktingnya. Dalam kamus saya,  di Indonesia saat ini hanya ada 3 pemain laki-laki terbaik : Oka Antara, Reza Rahardian dan Dwi Sasono. Titik !

Saya menikmati film ini tanpa ekspetasi. Cerita dibuka dengan Deddy Sutomo yang memerankan tokoh bernama Mahmud, seorang saleh yang berprofesi sebagai pedagang beras. Deddy Sutomo yang terakhir kali saya tonton aktingnya dalam serial Rumah Masa Depan di tahun 80-an, tampak mumpuni memerankan perannya sebagai Mahmud, yang hidup berdua dengan anak perempuannya bernama Halida (Erythrina Baskoro).

Beberapa menit berlalu, saya mulai tidak sabar menanti kemunculan Oka Antara. Saya tengok  Tedi dan memastikan dia masih menonton. Karena biasanya itu bocah langsung merem kalau sudah di dalam bioskop.

Daaaan yang ditunggu pun muncul. Dengan cambang dan jenggot berantakan, Oka muncul. Aktingnya cool, santai, dan tentu saja natural laiknya dalam film-film sebelumnya. Dia memerankan tokoh Heli. Berbeda dengan Mahmud dan Halida yang saleh, tokoh Heli ini digambarkan sebagai pemuda aktivis yang slengekan, yang tidak bisa terpisahkan dari gadget. Baginya mungkin agama dan segala tetek bengek ritualnya bukanlah sesuatu yang penting. Bahkan mungkin dia masuk golongan agnostic, yang mempercayai Tuhan tapi bersikap apriori terhadap agama. Baginya yang penting hidup damai dan bersikap baik terhadap sesama.

Kemunculan Heli ini menjadi titik awal konflik film ini. Alkisah Heli terpaksa pulang ke rumah karena harus mengurus passport utk tugas ke Nicaragua. Dalam waktu yang mepet, dan menjelang libur lebaran, muskil untuk pengurusan passportnya bisa jadi dengan cepat. Sementara itu Mahmud mempunyai niatan mulia untuk melakukan perjalanan napak tilas menuju lokasi keberadaan hilal. Sebuah ritual yang biasa dilakukan semasa muda dulu, saat dia masih mondok di pesantren.  Halida seperti wasit yang berdiri ditengah-tengah. Dia yang mengkhawatirkan kondisi kesehatan Mahmud mau melepaskan Mahmud pergi asal ditemani oleh Heli. Sementara Heli yang punya background hubungan tidak baik dengan Mahmud hukumnya wajib menemani Mahmud kalau passportnya mau diurus. Di sini, tokoh Halida diceritakan bekerja di kantor Imigrasi yang mempunyai akses terhadap pengurusan passport.

Alur cerita pun mulai terjalin dengan baik. Ada bongkah excitement yang hinggap dalam kepala saya. Saya pun mulai menegakkan sandaran. Bersiap untuk menikmati sebuah perjalanan ayah dan anak. Secara garis besar cerita film Mencari Hilal ini mirip dengan film Les Grand Voyage, besutan Sutradara Ismael Ferroukhi (rilis tahun 2004), yang berkisah tentang perjalanan anak yang menemani ayahnya melakukan perjalanan haji dengan mobil dari daerah Perancis Selatan. Kalau setting Les Grand Voyage mengambil lokasi di  Eropa, Turki, Syria, Yordania, hingga Mekkah, maka Mencari Hilal berputar di sekitar kawasan Jogjakarta.

Well, meski konsep cerita tidak orisinal, ini bukan sesuatu yang patut dibesar-besarkan. Toh ada pepatah “Nothing new under the sun”. Jangan nyinyir dulu sebelum menonton film ini. Karena kita akan disuguhi oleh cerita yang apik, konflik yang riil, akting mantap tidak hanya dari tokoh utama, tetapi juga para pemain pendukungnya. Menonton film ini seperti melihat cermin kehidupan beragama di Indonesia belakangan ini. Bagaimana penonton dibuat mangkel dengan sikap Mahmud yang merasa dirinya berilmu agama tinggi, dan mengganggap orang lain bodoh dan sesat. Mahmud ini gambaran para takfiri yang gemar mengkafirkan orang lain. Memahami agama sebagai ranah hitam putih. Halal haram.  Melihat sosok Mahmud, saya jadi teringat dengan seorang teman di Facebook yang langsung memvonis saya melakukan blasphemy alias penistaan agama, gara-gara saya meng-share tulisan tentang kritik terhadap pembangunan megah dan besaran-besaran kota Mekkah. Melalui privat message, dia menghujani saya dengan berbagai tuduhan. Juga tentang kesesatan umat muslim Indonesia. Awalnya saya tidak meladeni. Tetapi lama kelamaan mangkel juga. Terakhir kali dia menulis pesan bahwa saya selama ini pasti tidak tahu Al Fatihah itu apa. Olala, dibalik jidat hitam dan gamis putihnya, dia bertindak seperti perpanjangan tangan Tuhan dan kemudian menghakimi orang lain seenak udelnya. Tak mau berurusan dengan orang itu, akhirnya tangan saya dengan lincah mengklik satu tombol. BLOCK.

Kembali ke Mencari Hilal, film ini membawa saya pada suasana nostalgik masa kecil. Tone warnanya yang sejuk menangkap gambar alam pedesaan yang menentramkan. Suasana guyub desa yang menjadi pemandangan langka kaum urban. Langgar atau surau desa mengingatkan saya ketika masih bocah saat sholat tarawih berjamaah. Hanya yang membuat saya sering tercekat selama menonton film ini adalah gesture Deddy Sutomo yang mengingatkan saya pada almarhum bapak saya di akhir – akhir masa hayatnya.

Perjalanan ayah dan anak ini mengalir secara enak dan pas. Sesekali ada humor, ada sentilan terhadap polah politikus. Hanya sayangnya ada scene yang membuat saya risih, yaitu pada saat adegan umat nasrani beribadah dan segerombolan ormas Islam membubarkannya. Terus terang ini membuat saya malu sendiri, karena memang ini bukan sekedar adegan film belaka, tetapi nyata di masyarakat saat ini. Untung dalam cerita ini terhibur dimana ketegangan antar umat berbeda agama bisa diselesaikan dengan baik melalui dialog. Dan masalah bisa diselesaikan dengan baik. Meskipun terkesan sangat instan. Tetapi hey, bukankah ini menjadi sebuah contoh bahwa dialog antar umat beragama adalah kunci hidup damai dan penuh toleransi.

Bagaimana akhir cerita film ini ? Apakah hilal yang dicari ketemu ? Ini menjadi tidak penting, karena ayah dan anak ini sepertinya menemukan apa yang selama ini hilang dalam diri mereka. Cerita film ditutup menggantung. Dan mendadak saya seperti mendapat PR selesai menonton film ini. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba berkecamuk dalam kepala. Misalnya bagaimana kita menjaga toleransi tetapi tetap mempunyai jati diri. Bagaimana menjalankan ibadah secara luwes ditengah masyarakat yang multikultur, dengan tetap berpegang pada fiqih serta secara bersamaan memahami esensi dari syariat tersebut. Aduuh duh kok jadi serius ya.

Well ini film memang bagus dan sangat layak ditonton. Kalaupun ada kritikan, lebih pada tata gambar yang kadang kurang steady, goyang-goyang. Dan satu lagi, ini sih masukan pribadi, musik latarnya masih terlalu lengang. Seandainya musiknya latarnya diisi musisi seperti Payung Teduh, mungkin mood film ini akan lebih terangkat. Adanya subtitle berbahasa Inggris di film ini sepertinya persiapan untuk film ini diikutkan dalam ajang festival film internasional. Melihat kualitas film ini, rasanya pede untuk diadu dengan film-film negara lain. Semoga bisa mengikuti jejak sukses film-film besutan Majid Majidi.

Oya, seperti yang diceritakan di awal tulisan bahwa pengetahuan saya tentang film ini nol. Jadi saya belai-belain menyimak credit titlenya, dan munculah nama-nama seperti Salman Aristo, Komaruddin Hidayat, Haidar Bagir, Denny JA. Juga nama-nama yang saya pernah bertemu secara personal seperti Putut Widjanarko dan Avesina Subli. Kudos untuk semua yang telah terlibat dalam film ini. Juga untuk sang sutradara : Ismail Basbeth.

Tapi sayang sungguh sayang, film berkualitas bagus ini meski baru diluncurkan, Jumat lalu hanya bisa ditemui di 3 bioskop di Jakarta. Film ini harus bersaing dengan film seperti Ant-Man dan Terminator Genisys.

“Jadi gimana Bu, bagus kan filmnya ?” kata Tedi dengan wajah puas. Mukanya yang bulat bersinar ceria seperti sedang melihat hilal ketika satenya datang.

“Ya ya, bagus bagus,” jawab saya sambil menyantap pempek megaria yang hits. Ah tapi kenapa kecamuk di kepala masih belum hilang ya meski perut sudah diisi dengan lenjer dan kapal selam.








Sunday, October 5, 2014

Ngapain Masih Muda Sudah Mikirin Naik Haji.(Catatan Perjalanan Haji Bag.1)


Berhaji bagi saya adalah urusan kesekian. Pertama, karena saya masih muda. Ngapain harus melakukan ibadah yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah tua. Kedua, kalau ada uang lebih, akan bermanfaat jika ditanam sebagai investasi, masukin reksadana, tabungan pendidikan, beli tanah, atau apalah yang intinya untuk kebutuhan masa depan. Ketiga, ini ibadah yang memakan waktu panjang, sekitar 41 hari. Kalau anak-anak ditinggal lama, siapa yang jagain ? Belum mikirin seabrek urusan pekerjaan, yang ditinggal cuti beberapa hari saja sudah bikin kalang kabut. Intinya ibadah haji itu ...ergh... nanti dulu ah. Belum mikirin. Titik !

Itu dulu.

Hingga alkisah saya membaca notes teman saya di facebook tentang cerita dia saat berhaji. Lho dia kan seumuran saya ? Kenapa sudah berhaji ? Demikian batin saya bertanya-tanya. Nah, ditambah lagi ada tulisan dia yang membuat saya tersentil. Intinya adalah kalau sudah mempunyai kemampuan finasial, menabunglah untuk pergi berhaji. Apalagi nikmat haji dikala sehat dan tubuh masih kuat.

Saya tertegun dan hati tergelitik. Benarkah demikian ? Mulailah saya mencari-cari informasi ibadah haji itu sebenarnya seperti apa. Kebetulan suami dan kakak mendapat undangan Walimatul Safar (syukuran orang yang akan berangkat haji). Ada tausiah menarik dari pembimbing haji, yakni Bapak KH Qasim Shaleh. Mungkin cara penyampaiannya yang bagus, hingga tausiah itu sangat berkesan. Intinya adalah kalau sudah ada kemampuan, jangan ditunda lagi. Kami sekeluarga pun berembug. Dari segi prioritas orang tua menempati urutan teratas. Bapak saya sudah sepuh dengan sebagian anggota badan tidak berfungsi karena stroke. Ibu saya Alhamdulillah sehat, tetapi mempunyai masalah dengan osteoporosis di tempurung kedua kakinya. Seandainya mereka berangkat, masing-masing harus didampingi. Secara hitungan matematika, saat itu uang di tabungan cukup untuk berangkat 5 orang. Dengan hati mantap, Bismillah,  mendaftarlah kami: Bapak, Ibu, suami, saya, dan kakak. Kala itu di tahun 2010, antrian haji reguler di Depok menunggu 3 tahun. Jadi kalau tidak ada aral melintang, tahun 2013 Insya Allah kami berangkat ke tanah suci.


Semua Adalah Kehendak Allah
Kami sudah membayangkan indahnya nanti melakukan perjalanan haji satu keluarga. Kalau menonton berita di TV, banyak jamaah haji yang sudah sepuh tersesat di jalan, atau melakukan aktivitas dengan harus dibantu orang lain. Orang tua kami Insya Allah akan tenang beribadah, karena anak-anaknya siap mendampingi. Tapi itu sekedar harapan. Di tahun kedua masa tunggu, yaitu 27 Januari 2012, bertepatan dengan suami saya ulang tahun, Bapak wafat. Menyesal dan kehilangan sudah pasti. Tetapi kemudian kami berbesar hati, bahwa orang yang sudah berniat haji, Insya Allah tercatat amalannya.

Singkat cerita tahun 2013 kami berempat Alhamdulillah berangkat menjalankan rukun Islam yang kelima ini. Dan harus diakui, inilah ibadah yang menguras seluruh energi, mengaduk segenap emosi, menumpulkan ego kita sebagai manusia. Membolak balikkan semua paradigma tentang manusia dan kehidupan.  Meneguhkan bahwa kematian itu sebenarnya tidak berjarak, dan kepastian setelah kematian ada kebangkitan, hingga hari perhitungan kelak.

Kalau flash back setahun silam, akhirnya yang bisa diungkapkan adalah rasa syukur. Rukun ini sudah kami tunaikan. Semuanya Alhamdulillah dimudahkan Allah. Apa yang kami hadapi itu jauh dan sangat jauh lebih mudah dari orang-orang lain. Coba kalau menilik cerita inspiratif haji. Ada seorang buruh tani di Blitar dengan penghasilan 10 ribu sehari, menabung selama 20 tahun untuk bisa berangkat. Atau loper koran di Depok yang perlu 30 tahun agar tabungannya mencukupi. Jadi memang benar tulisan teman saya itu, selagi masih muda dan sehat, jika mempunyai kelonggaran rejeki, niatkan menabung untuk berhaji.  Insya Allah, segala sesuatunya akan dimudahkan.

Note:
Thanks Yunita yang sudah menuliskan cerita berhajinya di notes FB. Ini semacam legacy, yang akhirnya kuteruskan, dengan menorehkan catatan perjalananku, meski harus menunggu setahun lamanya.

Photo Credit : Mbak Ima


Friday, October 3, 2014

A Miracle Journey To Haramain 2013

Tahun 2014 sudah tergelar di depan mata.
Sebelum jiwa luntur dalam gerusan roda hidup yang terus berputar cepat.
Sebelum ingatan menjadi lamur.
Sebelum badan menjadi renta termakan uzur.

Ijinkan saya berhenti sejenak. Memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, untuk kemudian melemparkan ingatan pada kenangan akan sebuah perjalanan yang indah. Perjalanan meninggalkan orang-orang yang tercinta. Menuju undangan Sang Pemilik Cinta yang sebenarnya.

Perjalanan itu laksana sedetik yang lalu. Masih terasa tekstur dinding ka’bah yang menempel di telapak tangan. Sejuk. Harum. Merasuk melewati nadi. Menggetarkan hati manakala menyadari inilah tempat dimana Ibrahim, AS, sang Bapak Para Nabi mendirikan rumah untuk Allah. Menyerukan manusia untuk beribadah di sana. Dan berjarak ribuan tahun kemudian, seruan itu sampai pada kami.

Seolah baru kemarin air mata ini kering.  Setelah deras mengalir.  Membasahi  lantai Masjidil Haram. Berkumpul dengan air mata jutaan manusia lain dari segenap pelosok dunia. Merunduk. Bersimpuh. Dengan hati yang berkecamuk. Tidak kuasa menahan gemuruh di dada sembari bibir tidak henti melafaskan  Ya Aziz Ya Gaffar Ya Rabbal Alamin.

Seolah baru semalam kami melihat bulan sabit dan bintang gemintang yang terenda indah di langit Arafah. Menaungi raga-raga lemah dalam balutan kain ihram putih yang melusuh karena debu dan keringat.

Ah Wukuf yang tidak akan dilupakan oleh kami berdua. Saya dan suami. Wukuf yang istimewa karena di hari itulah 9 Dzulhijjah 1434 Hijriyah atau 14 Oktober 2013, kami merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-12.  Wukuf di Arafah inilah kami langitkan doa dengan bingkai kebahagiaan. Mengamini dan menegaskan ikrar dari Surat Al- Maa’idah: 3 yang turun di Arafah :
 “..Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu….”

Masih terasa hingar bingar, pekik semangat merapalkan talbiyah. Kaki yang bergerak cepat menuju Jamarat di Mina. Melontarkan batu pada jumrah Ula, Wusta, dan Aqabah sekuat tenaga. Berharap menghancurkan berhala-hala yang bersemayam di dada. Berhala yang selalu bermuara pada iri dengki dan hati yang tidak pernah puas.

Masih ingat bagaimana lafal Doa Kumail yang tidak  khatam dilantunkan. Tercekat tenggorokan ketika sampai pada bacaan:
“Maha suci Engkau dan segala puji bagi-Mu. Aku telah zalim pada diriku sendiri. Telah lancang karena kebodohanku. Aku lalai karena merasa nyaman karena Engkau selalu mengingatku dan mengasihiku. Ya Rabbi ya Tuhan, betapa banyak keburukanku yang telah kau tutupi?...”

Duhai Tuhan, betapa nikmat yang kami cecap selama kami dijamu olehMu ini tidak cukup untuk dituliskan dan diceritakan. Pun lapis lazuli yang konon keindahannya tidak bisa ditandingkan dengan batu permata lain, tidak bisa menandingi keindahan yang terpatri di hati atas nikmatMu ini. Begitu megah dan luasnya hamparan nikmat itu sehingga masing-masing tamu mereguk nikmat dengan versinya masing-masing. Personal and intimate.

Kini perjalanan itu sudah usai. Jiwa kembali terperangkap dalam rutinitas dunia. Teriring doa semoga perjalanan ini adalah sebuah kemabruran,  sebagai bekal mengarungi waktu yang tersisa.

Sebagian perjalanan terekam di tayangan Youtube ini:
http://www.youtube.com/watch?v=B7DJTkv7ltk

Depok – 4 Januari 2014 (in memoriam perjalanan haji 2013)
Tulisan pertama di tahun 2014.
Note: Youtube courtesy : Mbak Ima.




Tuesday, May 31, 2011

Wisata Sekolah

Setelah minggu lalu Bagas (7) berkunjung ke Bakkersmuseum (tempat pembuatan roti) di Oosterhout, sekarang giliran adiknya Sekar (4 tahun) kunjungan wisata ke Joepie, Breda. Acara ini adalah program tahunan dari sekolah. Bagi Sekar, inilah pengalaman berpergian seorang diri tanpa orang tuanya.


Mendung tebal dan hujan rintik sudah mengawal keberangkatan ke sekolah. Menurut perkiraan cuaca, hujan bakal mengguyur sepanjang hari dengan rentang suhu 8 – 14 derajat celcius. Cuaca ternyata semendung wajah para ibu yang ikut mengantar ke sekolah. Gimana mereka makan ? Bagaimana kalau di bis tiba-tiba ingin buang air ? Dingin nggak ya disana ? Sangat jamak jika pikiran itu melintas para ibu. Semua punya pengalaman sama, melepaskan anak pertama kalinya berangkat ke suatu tempat berjarak sekitar 36 km yang ditempuh dengan bis. Dan tentu saja tanpa didampingi orang tua.


Juf Paula, guru baik hati nan ramah berkali-kali meyakinkan sebagian ibu bahwa anak-anak akan baik-baik saja. Dengan tersenyum ia mengembalikan semua titipan makanan dan minuman dari orang tua. Karena sesuai dengan surat yang sudah dikirimkan, anak dilarang dibekali apapun. Semua hal sudah ditanggung beres oleh sekolah.


Meskipun bakal ada acara khusus, tapi pagi itu berjalan biasa. Kegiatannya seperti ini. Pukul 8.30 anak-anak masuk kelas dan bermain. Jam 8.45 lonceng dibunyikan sebagai tanda anak-anak menghentikan kegiatan bermain. Semua tangan kanan terangkat ke atas dan jari telunjuk tangan kiri diletakkan di mulut. Sebagai tanda mereka tidak boleh berisik. Selanjutnya tanpa bicara, guru dan anak-anak merapikan mainan dan kertas-kertas. Kemudian masing-masing anak membawa bangku masing-masing untuk dibentuk setengah lingkaran. Lalu mereka akan bernyanyi bersama. Saya mengintip dari balik jendela kaca dan tersenyum-senyum sendiri. Dalam hati saya selalu takjub, bocah-bocah umur 4 tahunan itu berisiknya luar biasa saat bermain. Tetapi bisa dengan duduk manis saat guru memberikan arahan.


Setelah diberikan penjelasan mengenai kegiatan yang akan dilakukan, dengan berbaris rapi mereka keluar kelas menuju bis besar di parkiran. Orang tua dibolehkan berdiri di pinggir jalan dan melambaikan tangan. Dan sesuai jadual, tanpa acara molor, berangkatlah bocah-bocah itu. Beberapa ibu terlihat matanya berkaca-kaca ketika bus sudah meninggalkan parkiran. Jam 3.45 mereka akan tiba kembali ke sekolah.


Saya pun jadi ingat bagaimana kegiatan wisata sekolah di Indonesia. Undangan berisi perincian biaya wisata yang dikirimkan ke rumah disertai tambahan note: bagi keluarga yang berminat ikut, dikenakan biaya sekian rupiah / orang. Dan ayah, ibu, kakak, adik, sampai nenek ikutan semua. Yang orang tuanya kerja, kadang diwakilkan oleh si mbak. Dan jadilah wisata sekolah menjadi wisata keluarga. Ramai, seru, tapi berisik juga ha ha. Orang tua yang tergabung dalam POMG pun tak kalah sibuk. Turut membantu mengurus transportasi, makanan, dll. Tak jarang keribetan mereka mengurus segala tetek bengek itu masih mendapatkan keluhan dari peserta misalnya bisnya tidak nyaman, makannya tidak enak, dan sebagainya.


Lain tempat lain budaya memang. Di Belanda, program wisata tidak ada pendampingan dari orang tua. Mereka belajar bagaimana menjadi team work. Satu kelas terbagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok harus bermain bersama dan saling mengingatkan jika anggotanya ada yang tidak kompak. Orang tua tidak perlu kuatir soal makanan. Makanan yang disediakan cukup dan tidak berlebihan. Itulah sebabnya mereka dilarang membawa makanan dari rumah. Kebersamaan, kemandirian, dan bersenang-senang, itulah inti dari program wisata di sekolah ini. Ah, saya tidak sabar menunggu Sekar pulang untuk mendengarkan cerita perjalanan wisatanya :)

Tuesday, May 3, 2011

Me, from the eyes of an American pal

Freedom to Choose

Choices in life can be difficult, and Danielle has had her fair share of them. After 13 years working in the Entertainment industry and hobnobbing with the rich and famous, Danielle has made the complex decision to settle down. In her own words, she has gone into “hibernation,” exchanging the bright lights and big city for rain and darkness in a small town south of Amsterdam. This departure has allowed her husband to focus on developing his career and Danielle to raise her two small children and dedicate herself to writing her debut novel.

Danielle is sitting in front of me; petite, composed, confident and direct. The story she just described is not unlike the situation countless other professional women in dual career households are faced with. But there is one other choice that makes her different. This is potentially a more risky choice than leaving a successful career and loving friends to move to a foreign land. Danielle has chosen to wear a hijab.

I come from a country that has declared a War Against Islam. Some extremists back home would have me believe that Danielle is dangerous – associated with terrorists - simply because she wears a soft, jade colored scarf around her head that is fastened with a small gold pendant.

I think that is ridiculous and it is easy for me to dismiss; I’m not surprised that my insular country would make ignorant stereotypes. But as I listened to Danielle in quiet astonishment, what was more difficult for me to accept is the realization that she is the first practicing Muslim I have ever discussed the purpose of this prominently worn scarf with. It made me wonder about my assumptions. And although I didn’t want to believe it, I not only had assumptions, but judgments, about why the scarves were worn. I believed they were used to demonstrate modesty and deference, and as a feminist, I couldn’t support it. But Danielle was about to firmly put my ignorant assumptions in their place.

Danielle happily explained to me why she chose to wear a hijab – and it was a decision she made later in life after she had children. In Danielle’s words, wearing a hijab is “a simple way to be who I am.” It is a way for her to remember to focus on her true, internal self and not the external, physical aspect of being human. Her hijab is a symbol of her commitment to improving and learning as she goes through the journey of life. It has nothing to do with silencing herself and everything to do with evolving into a stronger person.

As I looked at Danielle: Woman, Mother, Writer, Wife and Wearer of Hijab, I had a new found admiration for the scarf neatly tucked around her smiling, confident face. I now understood the very different meaning it has for her versus my uneducated assumptions and why this choice was crucial in supporting the accomplished woman sitting before me.

************************************************************

The piece above was written by Christy Mommsen during Writing nonfiction class in Amsterdam Writing Workshop in last March. Though the name was changed into Danielle, everybody knew who it was in the story, as I was the only one who wore hijab. It was Lisa Friedman, the teacher, who delivered the story so good that everybody was on silent, capturing word by word she read. And I couldn’t help to weep during that session :). Thank you Christy for your beautiful writing.

Today marks a year for me as hijab wearer. Life has been so remarkable. Meeting new people with varied and valued background is like tasting some flavors of ice cream rich with toppings on it. It is sweet, smooth, sometimes sour, yet I’m always tempted to lick it.

About the book that I write, Yes! finally it’s just done couple days ago. *yay*. I know there are so many roads to go to realize my dream. But at this moment, I just want to thank myself and enjoy this accomplishment. If I’m lucky, a publisher may be interested in publishing it. Or If it’s not, I will just keep it and present it to my children someday. So they will know that their mother, with joy and fear, putting word by word into a sentence. And sentence by sentence into a story.

Monday, May 2, 2011

De Grebbe

Mencicipi pendidikan di sekolah terbaik Belanda (bagian 2)


Ada yang berbeda di sekolah De Grebbe pada pagi hari, 1 April 2011 lalu. Bendera warna warni dan balon-balon dipasang di sepanjang sekolah. Musik riang dari ‘gerobak musik’ dipasang dengan volume kencang. Ada karpet merah yang dipasang dari halaman depan sekolah hingga mulut pintu masuk. Ada panggung kecil ditempatkan. Setiap murid yang datang disambut hangat oleh masing-masing wali kelas, dan dikalungi medali. Tampak sejumlah kamera dari stasiun TV sibuk mengabadikan gambar.

Semua guru, murid, dan orang tua yang mengantar, berkumpul disisi kanan kiri karpet. Dan tibalah acara pembukaan. Lia Vermaulen, sang kepala sekolah, memberikan sambutan. Hari itu De Grebbe merayakan kemenangannya sebagai “Sekolah Dasar Terbaik se-Belanda untuk tahun 2011”.

“Hieperdepiep hoera!,” teriak semua orang dan sorak sorai pun terdengar.

Dan piala berbentuk gajah dari tembaga pun diperlihatkan oleh sang kepala sekolah dengan bangga. Piala itu diberikan langsung oleh Menteri Pendidikan Belanda sehari sebelumnya di Museum Nemo, Amsterdam. Dan hari itu semua orang berpesta. Mencicipi kue tart yang dibagikan ke seluruh murid, guru, bahkan orang tua yang hadir.

Eind maart heeft minister Van Bijsterveldt de tweejaarlijkse Nationale Onderwijsprijs uitgereikt. In het primair onderwijs is basisschool De Grebbe uit Bergen op Zoom winnaar. Om taalachterstand in te lopen besteedt De Grebbe veel extra tijd aan begrijpend lezen en rekenen, maar wordt tegelijkertijd ook iets gedaan aan het gebrek aan ervaringen van de leerlingen. De Grebbe, een bijna 100 procent ‘zwarte school’, maakt taal tot een levend begrip in praktische lessen. De aanpak is succesvol: de taalachterstand bij kinderen in groep 3 wordt binnen vijf jaar omgebogen naar een voorsprong, blijkt uit het inspectierapport. Dat levert het predicaat ‘excellente school’ op. Meer over de aanpak van De Grebbe is te lezen in Kader Primair 6 van februari 2011 (pag. 38). De prijswinnaar heeft de Bronzen Olifant en een bedrag van 7.000 euro ontvangen.

Penghargaan itu memang layak diperoleh oleh De Grebbe. Predikatnya sebagai Zwarte School (black school) karena mayoritas muridnya adalah anak imigran dipatahkan oleh kenyataan akan prestasi yang diraih oleh murid-muridnya. Seperti yang saya tulis di note sebelumnya, bahwa murid-murid De Grebbe adalah multikultur : Turki, Maroko, Bulgaria, Yugoslavia, Polandia, Bosnia, Afganistan, Somalia, Vietnam, Thailand, Ghana. Orang Belanda asli hanyalah minoritas. Bahkan beberapa adalah anak asli Belanda yang bersekolah disini adalah anak berkebutuhan khusus.

Zwarte school, julukan itu sempat mencubit hati saya. Saya kira itu hanya julukan informal yang beredar dari mulut ke mulut. Hingga di koran saya temukan bahwa tanpa tedeng aling-aling mereka sebut sekolah itu sebagai zwarte school. Dalam gambaran saya, zwarte school tak ubahnya seorang zwarte piet (piet hitam) yang membantu Sinterklaas yang dicitrakan sebagai orang kaukasia,memanggul hadiah di bulan desember. Belakangan, nama zwarte sudah dihilangkan. Sehingga cukup disebut sebagai Piet saja. Karena ada unsur sara didalamnya.

Saya pun ‘protes.’ Tidak adakah julukan yang lebih baik dari Zwarte School. Misalnya dengan menyebutnya multikultur ? Tapi ya sudahlah. Protes saya hilang seperti asap ketika kemudian menyadari bahwa sebagus apapun propaganda akan pentingnya kesetaraan, tetap saja seorang imigran tetaplah imigran. Dan posisi terjauh yang bisa diraih adalah sebagai warga kelas dua.

Tapi julukan itu tidak lantas memburamkan kejernihan sekolah ini dalam mengemban tugas memberikan pendidikan terbaik dan setara buat murid-muridnya. Mengajar anak-anak multikultur itu bukan tugas yang mudah. Bahasa sudah tentu menjadi kendala. Tak jarang latar belakang sosial budaya dari negara asal anak tersebut turut mempengaruhi kestabilan psikologi anak yang bersangkutan.

Tetapi sekolah ini berhasil mengembangkan metode pelajaran sedemikian rupa, sehingga anak-anak tersebut mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Belanda. Bahkan pada akhirnya kemampuan berbahasanya bisa menyaingi murid-murid di sekolah lain yang notabene warga asli Belanda. Lebih membanggakan lagi prestasi dalam mata pelajaran lain pun diatas rata-rata.

Berdasarkan pengalaman apa yang didapat oleh anak saya, Bagas (7 tahun), secara berkala ia dibawa ke ruang khusus. Dan disana bersama beberapa teman lain yang selevel dengan dirinya, diberikan tambahan pelajaran bahasa secara khusus. Dari sini anak-anak dipantau.

Guru tidak hanya bertindak sebagai pengajar saja. Mereka juga bertindak sebagai konseptor dalam mengembangkan metode pendidikan baru. Dan semuanya mendapatkan dukungan sepenuhnya dari sekolah. Tidak berarti segala program itu berjalan tanpa kendala. Anggaran menjadi tantangan. Krisis ekonomi dunia turut merubah kebijaksanaan negara-negara di Eropa. Diantaranya anggaran pendidikan mengecil. Sementara pihak sekolah harus tetap putar otak untuk tetap menjadi institusi yang berkompeten.

Saya sungguh salut kepada Lia Vermeulen, kepala sekolah, sebagai garda depan membawa guru-gurunya berkomitmen tinggi mewujudkan kurikulum pendidikan hasil pengembangan sendiri. Perempuan rapi nan chic berusia paruh baya ini padahal mengepalai juga sekolah lain. Tetapi disela kesibukan waktunya, ia masih menyempatkan diri untuk setiap pagi di hari tertentu berdiri di depan pintu gerbang. Menyapa setiap murid dan orang tua yang datang dengan senyum ramah. Berbincang sebentar dengan orang tua. Kadang ia juga mengundang orang tua untuk bertemu, mengobrol dalam satu jamuan kopi dan teh yang santai di sore hari. Membagikan pengalaman apa yang dia punya, kendala apa yang sedang ia hadapi, dan masukan apa dari orang tua. Ia tekun mendengarkan sambil tangannya tetap membuat catatan.

Kekaguman saya pada perempuan itu juga muncul ketika ia ikut bergabung bersama wali murid dalam sesi membaca bersama di grup 3. Berhubungan kekurangan tenaga untuk membacakan buku, ia sendiri turut terlibat. Acara ini ditutup dengan makan bersama. Dan tak segan ia berdiri, menata gelas, dan menuangkan kopi, dan menyajikannya kepada setiap wali murid. Jabatannya sebagai kepala sekolah tidak lantas menghalangi dirinya untuk mempunyai jiwa melayani. Ini tentu saja menjadi contoh langsung guru-guru yang dipimpinnya. Tak heran jika para guru dan orang tua menaruh rasa hormat kepadanya.

Dengan penghargaan tersebut, sekolah berhak membawa hadiah sebesar 7000 euro. Dan hadiah itu langsung direalisasikan untuk membangun kelas baru dan fasilitas bermain di halaman.

Dan akhirnya, mencicipi pendidikan di sekolah terbaik belanda ini memberikan pengalaman luar biasa buat anak-anak dan saya. Saya percaya, setiap anak adalah anugerah dan mempunyai keunikan masing-masing. Mereka adalah jiwa-jiwa murni yang hadir tanpa sekat warna kulit, latar belakang agama, dan sosial ekonomi. Dan yang pasti, tidak pernah ada prejudice diantara mereka. Dengan bekal pendidikan yang tepat, diharapkan setiap anak bisa membawa dirinya menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Dan syukur-syukur menjadi manfaat buat sesama.

Tulisan ini secara kebetulan saya unggah bersamaan dengan hari pendidikan di Indonesia. Tidak ada maksud untuk membanding-bandingkan antara pendidikan di Belanda dan Indonesia. Kita tahu caruk marut wajah pendidikan di Indonesia. Tetapi kita juga tahu, masih ada mutiara-mutiara indah yaitu guru-guru yang tetap berdedikasi tinggi menyumbangkan ilmunya tanpa kenal lelah, meskipun tanpa penghargaan setimpal. Teriring salam takzim kepada guru-guru guru di seluruh tanah air.